Selat
Sunda merupakan perairan yang berada di antara 2 pulau yaitu Pulau Jawa dan
Pulau Sumatra. Secara tidak langsung Selat Sunda merupakan perairan yang
menghubungkan kedua pulau tersebut. Sehingga menjadikan selat tersebut sebagai jalur
mondar mandirnya kapal-kapal penyebrangan baik dari Banten menuju Lampung
maupun sebaliknya.
Menurut Amri (2008) bahwa dinamika massa air Selat
Sunda dipengaruhi oleh aliran dua massa air
utama, yaitu massa air Laut Jawa dan massa air Samudera Hindia dengan batimetri
yang semakin dalam jika mendekati perairan Samudra Hindia dan semakin dangkal
jika mendekati perairan Laut Jawa. Dengan memperhatikan letak dan kondisi
geografis, Selat Sunda memiliki hidro-oseanografi yang dinamis.
Menurut Syamsuddin dkk (2003)
bahwa Selat Sunda memiliki suhu permukaan laut yang sama dengan perairan lain
di Indonesia dengan rentang nilai antara 28oC sampai dengan 29,5oC.
sementara nilai suhu permukaan laut Selat Sunda tiap musimannya menurut Amri
dkk (2007) adalah sebesar 27oC-29oC pada musim barat, 29
oC-30,5 oC pada musim timur, 28 oC-30,5 oC
pada musim peralihan 2 dan 28 oC-30,5 oC pada musim
peralihan 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu permukaan laut Selat Sunda
adalah tutupan awan dan dominansi massa air. Apabila dominansi massa air
berasal dari Laut Jawa maka suhu akan meningkat dan apabila dominansi massa air
berasal dari Samudra Hindia maka suhu akan menurun. Hal ini dikarenakan massa
air dari Laut Jawa lebih hangat daripada Samudra Hindia.
Untuk sebaran salinitasnya, menurut Amri dkk (2007)
memiliki nilai tertinggi pada saat musim peralihan 2 sebesar 32,7 sampai dengan 33,7‰ dan nilai terendah pada saat musim barat
dan musim peralihan 1 sebesar 31‰. Sementara pada musim timur nilai salinitas
pada rentang 31,4‰ sampai dengan 32,6‰. Nilai salinitas di Selat Sunda
dipengaruhi oleh Samudera Hindia dan Laut Jawa dengan nilai salinitas yang
lebih tinggi dimiliki oleh Samudera Hindia dan nilai salinitias yang lebih
rendah dimiliki oleh Laut Jawa.
Adanya dinamika yang berbeda-beda tiap musim menyesuaikan dengan
arah angin, maka memungkinan terjadinya peristiwa upwelling di Selat
Sunda. Hal ini sesuai dengan penelitian Hendiarti dkk (2005) dan Amri dkk
(2007) yang menggunakan citra satelit untuk mendeteksi kelimpangan klorofil-a
sehingga bisa terlihat apakah di Selat Sunda terindikasi adanya upwelling.
Pada Amri dkk (2007) dinyatakan bahwa musim barat merupakan musim dengan
kelimpahan klorofil-a paling rendah dengan nilai pada kisaran 0,1 sampai 1,0
mg/m3 dan musim dengan kelimpahan klorofil-a paling tinggi adalah
musim timur dengan nilai dikisaran 1,5 sampai dengan 2,0 mg/m3. Diduga
terjadi upwelling di lepas pantai bagian selatan Selat Sunda. Karena pada
wilayah ini tidak menerima nutrien langsung dari Laut Jawa namun memiliki nilai
klorofil-a yang tinggi. Ini sejalan dengan Hendiarti dkk (2005) yang menyatakan
bahwa ada indikasi peningkatan klorofil-a di selatan Jawa pada musim timur.
Pada perairan dengan kandungan zat hara tinggi, seperti di daerah upwelling, produksi planktonnya hampir selalu melimpah dan biasanya
diikuti dengan produksi ikan yang cukup tinggi (Nybaken, 1992). Dengan nilai klorofil-a cukup tinggi,
Selat Sunda memiliki potensi sebagai tempat penangkapan ikan. Menurut Amri
(2008), jenis ikan yang dominan tertangkap pada musim timur adalah ikan
tembang (Sardinella fimbriata), banyar (Rastrelliger kanagurta), layang
(Decapterus sp.) dan selar (Selar crumenopthalmus). Lalu pada
musim barat ikan yang dominan tertangkap adalah ikan selar, tongkol (Euthynnus
sp.), dan tenggiri (Scomberomorus sp.). Sementara pada musim
peralihan 1, ikan pelagis yang dominan tertangkap adalah ikan tongkol dan selar
dan pada musim peralihan 2 ikan yang dominan tertangkap adalah ikan tembang, tongkol,
selar, layang, dan lemuru (Sardinella sp.).
Selain potensi penangkapan ikan, wilayah Selat Sunda
juga berpotensi sebagai sumber energi terbarukan yaitu arus laut. Wilayah perairan selat merupakan tempat melintasnya dan
berkumpulnya massa air laut. Menurut Moreno dkk (2008), pada lokasi selat memungkinkan
massa air laut mengumpul dan bergerak lebih cepat karena semakin menyempitnya
ruang gerak dari laut menuju selat. Pada tempat inilah yang terdapat potensi
energi terbesar dari perairan sekitarnya. Dalam penelitian oleh Nuriyati dkk
(2019) digunakan data pasang surut dan kecepatan arus pasang surut karena menurut
pernyataan dari Hadi dan Radjawane (2009), pada saat pasang menuju surut atau
surut menuju pasang kecepatan arus pasut maksimum terjadi. Kecepatan arus di
Selat Sunda memiliki nilai terendah pada saat surut terendah dengan kecepatan 0,00024
m/s
dan kecepatan arus tertinggi memiliki nilai tertinggi pada saat kondisi pasang
menuju surut dengan kecepatan 0,8765 m/s. Lalu dalam
penelitian itu didapatkan nilai konversi rapat daya tertinggi pada saat kondisi
pasang menuju surut dan kondisi surut menuju pasang. Wilayah Ujung Kulon dan
Pulau Peucang adalah wilayah dengan rapat daya tertinggi dengan nilai sebesar 4.51
W/m2 yang dihasilkan pada saat kondisi surut menuju pasang. Hal ini
membuat Selat Sunda berpotensi menjadi lokasi dibangunnya pembangkit listrik tenaga arus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar